Resensi Film Korea I Can Speak : Perjuangan Untuk Keadilan
Data/ Identitas Film:
1. Judul Drama : I can speak
2. Genre : Drama, Comedy
3. Sutradara : Kim Hyun-Seok
4. Penulis : Yoo Seung-Hee, Kim Hyun-Seok
5. Tanggal Rilis : 21 September 2017
6. Durasi : 199 menit
Pemeran Film :
1. Lee Je-Hoon : Park Min Jae/ Pegawai Negeri Sipil Kelas 9
2. Na Moon-He : Na Ok-Boon
3. Sung Yoo-Bin : Young Jae/ Adik Park Min Jae
4. Soon-Sok : Jung-Sim
Spoiled Alert
Ringkasan Cerita :
Park Min Jae (Lee Je-Hoon) menjadi pegawai negeri pindahan disalah satu distrik di Korea. Dia tinggal bersama adik laki-lakinya karena kedua orang tuanya sudah meninggal. Sebagai pegawai baru dia menerima dengan senang hati saat diminta tolong oleh rekan kerjanya untuk melayani Na Ok-Boon (Na Moon-He), nenek bawel yang kerap membuat aduan di kantor pelayanan masyarakat. Na Ok- Boon tinggal di pasar, terkenal di daerahnya sebagai orang tua yang nyinyir dan suka ikut campur urusan orang. Segala pelanggaran kecil dia laporkan pada kantor pelayanan masyarakat.
Karena sifatnya yang suka ikut campur, Na Ok-Boon banyak tidak disukai oleh orang-orang disekitarnya. Dia hanya memiliki seorang teman disekitar situ yang mengerti dirinya dan tulus berteman dengannya.
Na Ok-Boon tidak memiliki suami dan anak atau bisa disebut sebagai perawan tua. Pekerjaannya menjadi penjahit baju. Dia memiliki seorang sahabat semenjak masih muda, Jung-Sim (Soon-Sok), dan sesekali bertemu dengan sahabatnya ini. Melihat sahabatnya bisa berbahasa Inggris, Na Ok-Boon ingin juga mencoba belajar Bahasa Inggris. Kebetulan adik laki-lakinya tinggal di Los Anggels dan tidak bisa berbahasa Korea.
Sekalipun sudah berumur, Na-Ok Boon ingin bisa berbicara Bahasa Inggirs. Untuk bisa berbicara dalam bahasa Inggris, Na Ok-Boon ikut les di lembaga pendidikan. Usianya yang tua menyebabkan dia susah menangkap pelajaran Bahasa Inggris di tempat lesnya sehingga mengganggu peserta les yang lain. Hal ini menyebabkan Na Ok-Boon dikeluarkan dari tempat lesnya.
Saat dia putus asa dan terusir dari tempat les. Dia melihat ada Park Min Jae sedang berbicara bahasa Inggris lancar dengan orang asing. Sejak saat itu Na Ok-Boon mengejar-ngejar Park Min Jae untuk belajar Bahasa Inggris. Park Min Jae yang sudah “il-fill” pada Na Ok-Boon sejak pertama bertemu, menolak mengajari Na Ok-Boon dengan berbagai alasan. Sampai pada suatu hari Park Min Jae melihat adiknya mendapatkan makanan dari Na Ok-Boon. Ternyata adiknya itu sering mendapat makanan gratis ala rumahan dari Na Ok-Boon. Alasan Na Ok-Boon memberi makan adik Park Min Jae karena adiknya sering terlihat sedang makan mie mentah. Sebagai rasa terima kasihnya karena telah memberi makan adiknya, Park Min Jae bersedia untuk mengajari Na Ok-Boon bahasa Inggris.
Sementara itu, pasar sedang dihebohkan dengan kasus premanisme yang ingin mengusir warga di pasar karena lahannya akan didirikan bangunan baru. Na Ok-Boon sendiri pernah menyerahkan file-file yang membuktikan tindakan premanisme pada kantor pelayanan masyarakat, namun diabaikan.
Park Min Jae memutuskan berhenti mengajari Na Ok-Boon Bahasa Inggris, setelah mengetahui bahwa adik laki-lakinya di luar negeri menolak berbicara dengan Na Ok-Boon. Adik laki-laki Na Ok-Boon mengatakan tidak mau dihubungi dan merasa tidak mengenal Na Ok-Boon. Nenek tua itu berniat membayar Park Min Jae agar tetap mau mengajarinya. Park Min Jae berkeras menolak mengajari Na Ok-Boon.
Pertengkaran hebat terjadi di kantor pelayanan masyarakat antara Park Min Jae dan Na Ok-Boon. Penyebab pertengkaran mereka karena Na Ok-Boon mengira Park Min-Jae membuang dokumen-dokumen bukti premanisme yang telah dikumpulkannya secara susah payah. Na Ok-Boon merasa dikhianati oleh Park Min-Jae. Dipertengkaran itulah terungkap alasan sesungguhnya Park Min Jae tidak mau mengajari Na Ok-Boon. Karena kesal dengan perkataan Park Min-Jae, Na Ok-Boon menampar Park Min-Jae dengan keras.
Sahabat Na Ok-Boon, Jung-Sim, sakit keras dan dirawat di rumah sakit. Keluarga sahabatnya meminta untuk merawat Jung-Sim. Selama ini, sahabatnya itu sering menceritakan tentang Na Ok-Boon pada keluarganya. Melihat sahabatnya yang lemah dan mulai pikun, Na Ok-Boon bertekat untuk meneruskan perjuangan sahabatnya yaitu menjadi saksi di Komisi Hak Asasi Manusia Internasional atas kekerasan seksual yang pernah dilakukan oleh tentara Jepang pada wanita-wanita Korea, semasa perang.
Sedari awal, Na Ok-Boon menutupi dirinya pernah menjadi budak seks Jepang. Bahkan, dia pernah disiksa oleh tentara Jepang hingga hampir bunuh diri dan diselamatkan oleh sahabatnya. Namun, belakangan ini dia ingin membantu sahabatnya untuk mengungkap perbudakan yang pernah dialaminya.
Kisah yang dialami oleh Na Ok-Boon ini tersebar ke seluruh Korea atas bantuan wartawan. Hal ini menjadi berita heboh di distriknya. Orang-orang yang semula tidak menyukainya menjadi menghormatinya dan memberi support padanya karena mau bersaksi di Komisi Hak Asasi Manusia Internasional.
Perjuangan Na Ok-Boon untuk mendapat permintaan maaf dari negeri Jepang bukannya mudah. Bahkan sempat dianggap sebagai saksi palsu karena namanya tidak ada dalam daftar yang melaporkan kekerasan seksual tentara Jepang. Berbagai bukti yang di berikan oleh Na Ok-Boon membuka mata dunia akan kekejaman tentara Jepang memperlakukan wanita sebagai budak seks. Sekalipun telah ada bukti nyata, Jepang sama sekali tidak meminta maaf pada Na Ok-Boon.
My Opini:
Saat memilih film ini untuk saya tonton, saya membayangkan bahwa film ini bercerita tentang hubungan pertemanan antara seorang nenek dan pemuda yang penuh makna. Diawal cerita, saya tidak terlalu menemukan sesuatu yang menarik, selain cerita tentang nenek bawel dan menyebalkan yang ingin belajar bahasa Inggris untuk bisa berkomunikasi dengan adiknya di luar negeri.
Saya masih belum menemukan apa yang ingin disampaikan oleh pembuat film hingga dipertengahan cerita. Di saat saya tahu alasan dari Nenek Na Ok-Boon belajar bahasa Inggris terungkap, saya mulai memahami alasan nenek ini begitu gigih ingin belajar bahasa Inggris. Dalam cerita ini saya bisa merasakan kepedihan wanita-wanita yang pernah menjadi budak seks Jepang. Jujur, saya sempat menetaskan air mata saat menonton film ini.
Cerita di film ini berdasarkan kisah nyata perbudakan seks yang pernah dialami oleh wanita Korea semasa perang Jepang. Para korban kekerasan seksual oleh tentara Jepang itu kini telah menua. Tidak banyak yang mereka inginkan, mereka hanya ingin permintaan maaf dari Jepang. Mereka tidak ingin peristiwa perbudakan seksual dilupakan begitu saja agar dimasa yang akan datang tidak ada lagi perbudakan seks seperti yang mereka alami.
Secara keseluruan film ini cukup bagus untuk di tonton. Selain memiliki alur yang tak terduga, cerita dalam film ini banyak mengundang tawa juga air mata. Walau mungkin di awal cerita, agak sedikit membosankan tetap saja cerita ini diakhir dengan baik dan mampu menyampaikan pesan mendalam pada penontonnya.
Pesan yang saya dapat dari film ini, saat kita melakukan sebuah kebaikan mungkin sesaat orang tidak akan bisa menerima kebaikan kita tapi suatu hari mereka akan mengerti bahwa yang kita lakukan adalah sesuatu yang baik. Begitu pula dengan kejahatan, di dunia ini suatu hari sebuah kejahatan pasti akan terungkap. Film ini juga mengajarkan tentang perjuangan yang tidak akan sia-sia dan akan ada hasilnya. Masa kalah sama nenek-nenek ๐๐๐๐
Nilai untuk film : 8 (Layak untuk ditonton)
Komentar
Posting Komentar
THANK YOU BUAT KOMENTARNYA :)