Mendapatkan Suami Yang Langkah




Baru-baru ini saya menemukan sebuah posting-an di Facebook. Posting-an tersebut membahas tentang ciri-ciri suami yang langka. Saya tidak tahu siapa orang yang pertama kali membuat dan menyebarkannya. Saya juga tidak tahu kapan tulisan itu mulai dibuat. Saya rasa kalau suami bisa memenuhi semua kriteria itu maka istri-istri bakal sangat bahagia.

Kira-kira seperti ini isi posting-an yang sangat menarik perhatian saya:



Memang betul suami tidak boleh segan untuk membantu pekerjaan rumah istrinya, terutama kalau istrinya bekerja juga saat istri sakit. Kalau membantu artinya pekerjaan dikerjakan berdua. Bukan suaminya yang mengerjakan terus istrinya leha-leha diatas kasur sambil main handphone.

Lalu, bagaimana dengan istri yang tinggal di rumah dan baru memiliki satu anak, seperti saya? Apakah tidak keterlaluan kalau saya mengharapkan suami saya sepulang kerja bersih-bersih rumah, sementara saya nongkrong di sofa sambil nonton televisi? Saya secara peribadi merasa tidak enak hati kalau melihat suami saya melakukannya.

Saya pikir, hari ini suami saya sudah cukup bekerja keras di tempat kerjanya. Mungkin saja hari ini ada masalah di tempat kerjanya atau dia sedang banyak kerjaan yang melelahkan. Kalau suami saya masih harus membantu saya, saya kuatir kalau dia kelelahan dan jatuh sakit. Kalau suami saya sakit, saya juga yang rugi.

Apakah suami saya mau membantu saya? Ya, dia mau. Dia sekali seminggu ke pasar untuk membeli titipan keperluan dapur. Setiap hari tertentu dalam satu minggu, kami ke supermarket untuk beli keperluan sehari-hari sekalian makan malam di luar. Suami saya pernah menjaga anak saya seharian saat saya sakit. Saat saya belanja dan memilih barang, suami saya dengan senang hati menjaga anak saya. Pergi belanjanya tentu saja dengan suami dan anak saya.


Saya setuju bahwa suami dan istri perlu membangun kedekatan dengan anaknya. Masa anak-anak tidak akan terulang dua kali. Kalau tidak dari sekarang terbiasa untuk membangun kedekatan dengan anak, maka di masa depan saat mereka telah dewasa, akan mengalami kesulitan untuk dekat dengan anak-anak.

Apakah suami saya dekat dengan anak saya? Suami saya sangat dekat dengan anak saya. Saat pulang kerja, anak sayalah yang lari-lari menyambut suami saya. Saya sengaja menyodorkan anak saya di depannya, karena anak sayalah yang paling dicari suami saya saat dia pulang. Suami saya langsung tersenyum cerah setiap dipeluk oleh anak saya.

Suami saya selalu rela dipanjat punggungnya oleh anak saya. Sekalipun kecapaian suami saya masih sempat main dengan anak saya. Saya tidak pernah memaksa ataupun meminta suami saya untuk bermain dengan anak saya. Karena, anak saya yang selalu minta untuk diajak bermain oleh suami dan saya. 



Kalau tentang ini, saya rasa tergantung keuangan sang suami. Tidak semua suami sekaya anaknya Abu Rizal Bakrie. Penghasilan setiap orang dan kebutuhan setiap orang berbeda-beda. Sebagai istri, kita pun harus memahami ini. Bukannya ada istri yang rela kerja untuk membantu keuangan keluarga?

Bagaimana dengan suami saya? Saya tidak terlau mempermasalahkan hal yang semacam ini karena rekening kami adalah rekening bersama. Hampir semua kebutuhan dasar saya tercukupi. Saya bilang cukup berarti tidak berlebihan dan sewajarnya. Karena saya juga tidak mengharapkan yang berlebihan. Suami selalu bilang bahwa uangnya adalah uang saya juga. Saya masih sering malu kalau meminta sesuatu yang berlebihan pada suami saya. Itu karena saya tidak bekerja.


Untuk yang satu ini saya setuju. Waktu untuk berkomunikasi itu sangat penting. Membicarakan anak, pekerjaan kantor, rencana berlibur atau apapun yang menarik untuk dibicarakan berdua.

Bagaimana dengan saya dan suami? Saya sangat bersyukur karena suami saya selalu pulang rumah pada waktunya. Kami juga sering ngobrol tentang berbagai hal, paling banyak sih.., soal aktifitas anak saya. Bahkan kalau kami membahas sesuatu yang seru, kami bisa sampai tengah malam ngobrolnya.

Selain ngobrol, suami saya kalau saat ada waktu senggang akan menyempat sendiri untuk chat via handphone dengan saya. Hanya sekedar untuk menanyakan apakabar saya dan anak saya, terkadang dia juga memuji masakan saya dan dia selalu tanya mau titip apa?

Suami saya saat belum berpacaran dengan saya, termasuk orang yang suka kumpul-kumpul dengan teman-temannya. Setelah dia berpacaran dengan saya hingga menikah, suami saya hampir tidak pernah kumpul-kumpul dengan temannya. Itu menyebabkan teman-temannya berfikir bahwa saya melarang suami saya untuk kumpul dengan mereka. Padahal, saya tidak pernah melarang suami saya untuk kumpul dengan teman-temannya.



Ya... boleh sih sesekali. Tapi kalau setiap saat minta “me time” itu keterlaluan. Apa lagi saat ini banyak ibu-ibu yang tidak paham apa itu “me time”. Dikiranya “me time” itu jalan-jalan, nongkrong atau belanja-belanja bareng temen. Kalau mau tahu apa itu me time bisa klik disini.

Bagaimana dengan suami saya? Saya sih, sudah cukup “me time” nya. "Me time" saya adalah saat anak saya tidur siang dan saat dia pergi ke sekolah. Jadi, saya malahan kasih jatah "me time" untuk suami saya. Ada saatnya saya dan anak saya tidak menggangu waktu pribadinya. Jadi, dia bisa melaksanankan hobinya. Syukurnya, hobi suami saya adalah nonton film dan main game. Dulu, suami saya juga sering pijat refleksi. Kalau suami saya happy saya juga happy kan?


Saya setuju dengan ini. Tidak baik membanding-bandingkan orang. Saya rasa para suami pasti sudah sangat paham hal yang satu ini. Istri pun seharusnya tidak membandingkan suaminya dengan suami orang lain.

Bagaimana dengan suami saya, bisa dikatakan suami saya tidak pernah membanding-bandingkan saya dengan wanita lain. Mungkin dia ingin menjaga perasaan saya. Saya sendiri sebagai istri, saya juga tidak membandingkan suami saya dengan orang lain. Bahkan, saya selalu mengatakan bahwa dia adalah suami yang terbaik dan saya beruntung menikah dengannya.


Kalimat diatas adalah kalimat penutupnya. Harapan untuk para istri yang membaca posting-an tersebut mendapatkan suami yang langkah. Dengan demikian para istri menjadi bahagia.

Ya..., saya memang berbahagia memiliki suami saya. Tapi, saya lebih mengharapkan bahwa semuanya seimbang. Seperti saya, suami saya pun juga berbahagia menikah dengan saya. Saya juga berusaha menjadi istri yang langkah. Saya pikir, kalau kamu menginginkan sesuatu dari seseorang, kamu harus memberikan yang terbaik dulu. Kalau saya tidak melakukan hal-hal yang baik untuk suami saya, apa hak saya untuk banyak menuntutnya? Sebelum saya menjalankan kewajiban saya dengan baik, apa bisa saya meminta hak saya sebagai istri?

Lalu bagaimana kalau suamimu bukan termasuk suami yang langkah? Bukankah kalau itu disebut langkah maka akan susah untuk didapat. Sedikit masukan saya, bahwa setiap orang punya jalan hidup, pilihan dan pemikiran sendiri yang berbeda-beda. Suami kita tidak akan sempurna 100%, sama seperti kita yang tidak sempurna. Seperti apapun suami kita itu adalah pilihan kita masing-masing.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengalaman Tinggal Di Gading Nias Residence – Apartemen Paling Murah Di Kelapa Gading

Resensi Drama Korea Innocent Man (2012): Pengorbanan Dan Penghianatan Cinta

Hijo De La Luna “Putra Rembulan”