Manusia Adalah Hakim Bagi Sesamanya
Istilah homo homini lupus "manusia adalah serigala bagi sesamanya" mungkin sudah sangat terkenal. Manusia yang saling menyakiti dan menghancurkan. Saling makan dan saling menerkam. Istilah ini sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu tapi masih cocok dipakai di zaman now.
Dari kalimat itulah tercetus sebuah pemikiran, bahwa manusia juga adalah hakim bagi sesamanya. Maksudnya hakim disini bukanlah hakim dipersidangan melainkan "hakim dadakan" atau "hakim jadi-jadian". Hakim dadakan yang menghakimi sesamanya atas dasar kebenaran dari presepsi pribadi atau mungkin presepsi kelompok. Tidak paham bahwa apa yang menurut Sang Hakim benar belum tentu menurut orang lain benar. Bahkan memaksa orang lain untuk bisa sepakat dengan pemikiran Sang Hakim kalau tidak orang lain itu menjadi terdakwa yang layak untuk dihakimi.
Dari kalimat itulah tercetus sebuah pemikiran, bahwa manusia juga adalah hakim bagi sesamanya. Maksudnya hakim disini bukanlah hakim dipersidangan melainkan "hakim dadakan" atau "hakim jadi-jadian". Hakim dadakan yang menghakimi sesamanya atas dasar kebenaran dari presepsi pribadi atau mungkin presepsi kelompok. Tidak paham bahwa apa yang menurut Sang Hakim benar belum tentu menurut orang lain benar. Bahkan memaksa orang lain untuk bisa sepakat dengan pemikiran Sang Hakim kalau tidak orang lain itu menjadi terdakwa yang layak untuk dihakimi.
Yang pasti hakim ini sangat hebat. Bisa memutuskan bersalah tanpa pengadilan dan tanpa alat bukti yang sah 😋😋😋. Seorang hakim dipersidangan (maksudnya hakim beneran ya...), untuk memutuskan seseorang bersalah dia berpegang pada undang-undang, keterangan saksi, keterangan ahli, bukti, petunjuk dan keterangan terdakwa. Lalu, apa dasar Sang Hakim dadakan menghakimi orang lain?
Saat Sang Hakim dadakan memutuskan orang itu bersalah, dia akan menghukum orang itu dengan kata yang merendahkan dan dengan sindir-sindiran pedas. Semua orang harus tahu kalau dia salah dan Sang Hakim yang paling benar. Dari pada menegur secara pribadi, Sang Hakim lebih suka jika terdakwa malu atas tindakannya yang tidak sesuai dengan prespektif Sang Hakim. Begitulah cara Sang Hakim memenjarakan manusia lain yang dianggapnya sebagai terdakwa.
Lebih mudahkan melihat kesalahan orang lain daripada kesalahan diri sendiri? Lebih gampang menunjukkan kelemahan dan kekurangan orang lain untuk menutup busuk diri sendiri. Atau bisa jadi tidak menyadari kelemahan diri sendiri. Manusia tidaklah seharusnya menjadi Tuhan bagi sesamanya.
Saat menghakimi kehidupan orang lain, jangan lupa untuk koreksi diri. Apa diri sendiri sudah baik? Apa nggak perna berbuat salah dan nggak akan berbuat? Apa merasa dirugikan? Apa itu urusan saya? Dan... apakah saya TUHAN yang berhak menghakimi kesalahan orang lain?
Tidak... ini bukan tentang kamu... tapi ini 100% tentang diri saya yang suka menghakimi orang lain...
Saat Sang Hakim dadakan memutuskan orang itu bersalah, dia akan menghukum orang itu dengan kata yang merendahkan dan dengan sindir-sindiran pedas. Semua orang harus tahu kalau dia salah dan Sang Hakim yang paling benar. Dari pada menegur secara pribadi, Sang Hakim lebih suka jika terdakwa malu atas tindakannya yang tidak sesuai dengan prespektif Sang Hakim. Begitulah cara Sang Hakim memenjarakan manusia lain yang dianggapnya sebagai terdakwa.
Lebih mudahkan melihat kesalahan orang lain daripada kesalahan diri sendiri? Lebih gampang menunjukkan kelemahan dan kekurangan orang lain untuk menutup busuk diri sendiri. Atau bisa jadi tidak menyadari kelemahan diri sendiri. Manusia tidaklah seharusnya menjadi Tuhan bagi sesamanya.
Saat menghakimi kehidupan orang lain, jangan lupa untuk koreksi diri. Apa diri sendiri sudah baik? Apa nggak perna berbuat salah dan nggak akan berbuat? Apa merasa dirugikan? Apa itu urusan saya? Dan... apakah saya TUHAN yang berhak menghakimi kesalahan orang lain?
Tidak... ini bukan tentang kamu... tapi ini 100% tentang diri saya yang suka menghakimi orang lain...
Komentar
Posting Komentar
THANK YOU BUAT KOMENTARNYA :)