Stop Memaki - Memaki Itu Nggak Keren

etika dalam berbiaca, budaya berbicara yang baik
Stop caci maki

Kedorong sedikit, "@nj!ng", "t@!" !!!!
Motor kesalip, "ng∃nt∅t", "B@ngs@t" !!!!
Bercanda pun terselip kata, "b@b!" atau "k∅nt∅l" dan sejenisnya. 

Ada sebagian orang sudah biasa mengucapkan kata makian. Segala macam nama hewan sudah sering disebut sebagai kata umpatan. Alat kelamin ringan diucap untuk panggilan, ejekan dan ekspresi kekesalan atau kemarahan. 

Dalam pergaulan, bisa jadi orang merasa lebih akrab memanggil temannya dengan nama hewan atau alat kelaminnya. Candaan bisa jadi lebih seru kalau ada embel-embel kata yang tak senonoh dan kurang ajar. Yang menyedihkan, ada saja orang tua yang memarahi anaknya dengan kata makian juga nama hewan. 

Sejujurnya, saya risih mendengar kata-kata itu. Hati saya sering tercabik mendengar kata-kata makian, sekalipun itu bukan untuk saya. Mungkin karena saya tidak terbiasa mengucapkan kata-kata itu. Bahkan, untuk orang yang saya tidak suka pun, saya tidak ingin mengucapkan kata makian. 

Bagi saya kata-kata tersebut tidak seharusnya diucapkan oleh orang-orang yang terpelajar dan berpendidikan. Sekalipun dalam keadaan marah dan emosi. Apa pernah di sekolah ada materi pelajaran tentang cara mencaci orang? Atau praktikum melontarkan kata-kata kotor? Atau mata kuliah dasar-dasar mencaci-maki? Tidakkan? Berarti tidak seharusnya orang yang bersekolah mengucapkan kata-kata kotor. Anak kuliahan juga tidak pantas melontarkan umpatan.

Coba perhatikan apa ada dokter yang mencaci-maki pasiennya? Atau guru yang mencaci-maki muridnya? Pemuka agama yang mencaci jemaatnya? Atau pernah melihat pembaca berita mengumpat? Kalau pun ada, mereka akan mendapat teguran atau mungkin juga bisa diberhentikan dari pekerjaannya. 

Bandingkan dengan sopir angkot yang mencaci penumpang. Atau tukang parkir yang mencaci maki orang. Atau preman di jalanan yang biasa berkata-kata kasar. Apakah mereka akan dipecat jadi sopir angkot? Apa mereka akan diberhentikan dari pekerjaan tukang parkir? Apa mungkin preman dipecat karena kebiasaan mencaci orang? Tidakkan? Bahkan tidak ada teguran untuk mereka. 

Semua orang bisa menerima dan memahami kalau supir angkot, tukang parkir dan pekerja sejenisnya mengucapkan cacian. Karena wajar mereka berbicara tanpa etika, pekerjaan yang mereka kerjakan tak perlu pendidikan dan standar etika tinggi. 

Tetapi lain dengan orang yang berpendidikan baik. Tidak seharusnya anak sekolahan, anak kuliahan, pekerja kantor, dan berbagai profesi yang memiliki standar etika, mengucapkan caci-maki. Kalau mereka yang terpelajaran dan berpendidikan masih sering dan terbiasa mengucapkan kata caci-maki, apa bedanya mereka dengan preman, sopir angkot atau tukang parkir. Bahkan kadang sopir angkot dan tukang parkir ada yang tidak mengucapak kata-kata caci-maki. 

Lucunya, masih banyak orang yang suka melontarkan caci-maki dan umpatan sebagai bukti kalau mereka keren dan gaul. Kenyataannya, sama sekali nggak keren dan bisa merusak mood.

Ingatlah bahwa kata-kata itu mencerminkan hati, kalau orang itu biasa berkata kasar, mencaci maki orang, bisa ditebakkan apa isi hatinya. Apakah kamu bisa nyaman dengan orang yang kasar tutur-katanya? Kekerasan fisik sering diawali dengan kekerasan ferbal. Hati-hatilah...



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengalaman Tinggal Di Gading Nias Residence – Apartemen Paling Murah Di Kelapa Gading

Resensi Drama Korea Innocent Man (2012): Pengorbanan Dan Penghianatan Cinta

Hijo De La Luna “Putra Rembulan”